Suara Masyarakat Anti Diskriminasi
SOMASINEWS.COM JAKARTA, Tiga calon wakil presiden (cawapres) yang berkontestasi dalam Pilpres 2024 beradu gagasan dalam debat yang digelar di Jakarta, Jumat (22/12) malam. Tema debat kali ini adalah ekonomi kerakyatan dan digital, keuangan, investasi, pajak, perdagangan, pengelolaan APBN/APBD, infrastruktur, dan perkotaan.
Proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara menjadi perdebatan yang panas dalam Debat Pilpres 2024 seri kedua, yang mempertemukan tiga cawapres, yakni Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabuming Raka, dan Mahfud MD.
Gibran menyebut anggaran IKN tidak sepenuhnya ditanggung APBN, sementara Mahfud mendebat IKN belum ada investor dan Muhaimin Iskandar menyebut akan membangun 40 kota baru.
Dalam debat kali ini, Muhaimin Iskandar, pasangan dari capres Anies Baswedan, sempat kerepotan menjawab pertanyaan dari pesaingnya, Gibran Rakabuming Raka tentang State of the Global Islamic Economy (SGIE). Secara keseluruhan, pengamat ekonomi kerakyatan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Hempri Suyatna, menilai jawaban dari para cawapres mengenai persoalan ekonomi kerakyatan dan digitalisasi “tidak terlalu tajam” dan “belum fokus pada inti persoalan yang dihadapi masyarakat”. Hempri juga menilai kurang elaborasi dan kurang membeberkan langkah konkret yang akan dilakukan.
Senada, peneliti Center of Food, Energy, and Sustainable Development dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Dhenny Yuartha Junifta mencatat ada sejumlah hal yang luput dalam debat cawapres kali ini.
“Beberapa cawapres saling berdebat terkait dengan bagaimana meningkatkan tax ratio, cuma di sisi lain, soal bagaimana langkah-langkah tax ratio itu dapat ditingkatkan, sepertinya luput dari perdebatan kali ini,” ujar Dhenny.
Berikut rangkuman Debat Pilpres 2024 seri kedua yang dihimpun awak media beserta tanggapan para pakar.
Apa pertanyaan yang membungkam Cak Imin?
Cak Imin, begitu Muhaimin Iskandar biasa disapa, tak memahami pertanyaan yang dilontarkan Gibran mengenai State of the Global Islamic Economy (SGIE) dalam salah satu sesi debat yang digelar di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta.
“Karena Gus Muhaimin ini adalah ketua umum dari Partai PKB, saya yakin Gus Muhaimin paham sekali soal ini. Bagaimana langkah Gus Muhaimin untuk menaikkan peringkat Indonesia di SGIE?” tanya Gibran Rakabuming Raka.
Cak Imin kemudian membalas, “Terus terang saya tidak paham SGIE.”
Ia pun meminta Gibran untuk menjelaskan apa itu SGIE. Moderator debat, Alfito Deanova, sempat menanyakan apakah Cak Imin benar-benar ingin Gibran langsung menjawab. Ada lagi pertanyaan? Ini waktu Anda memberikan jawaban dua menit, kalau dipakai untuk bertanya waktu akan habis. Tidak apa-apa?” tanya Alfito.
Cak Imin menjawab, “Tidak apa-apa, karena saya tidak pernah mendengar istilah SGIE itu.”
Gibran lantas menerangkan mengenai SGIE.
Dalam konferensi pers pascadebat, Cak Imin merespons pertanyaan mengenai ketidaktahuan istilah SGIE tersebut.
“Istilah-istilah itu kan banyak sekali. Ada yang kita hapal ada pula yang kebetulan lupa singkatannya,” tutur Muhaimin.
Menurut Muhaimin, pertanyaan yang mengandung singkatan teknis bisa saja dimunculkan setiap saat dan yang penting adalah apakah akhirnya penjawab mengerti substansi dan bisa menjelaskannya secara tepat.
Anies Baswedan selaku pasangan capres Muhaimin mengatakan terminologi teknis bisa dijawab dengan Google.
“Yang dibutuhkan dalam level kepimpinan nasional adalah yang substantif,” ujarnya.
“Publik bisa menilai kualitas pertanyaan apakah ini format Cerdas Cermat atau format ideologi selaku pemimpin nasional, tetapi sebagai pertanyaan ya sah-sah saja.”
Apa saja janji para cawapres soal isu ekonomi?
Gibran Rakabuming Bumi menjadi cawapres pertama yang menyuarakan visi dan misinya dalam Debat Pilpres 2024 seri kedua. Dia mengusung visi misi di bidang ekonomi yang “berkelanjutan, percepatan, dan penyempurnaan.”
Di atas panggung, dia menjelaskan bahwa nantinya Indonesia harus mampu keluar dari middle income trap, keadaan ketika suatu negara berhasil mencapai tingkat pendapatan menengah tetapi tidak bisa keluar dari tingkatan menjadi negara maju.
Untuk itu kuncinya, menurut Gibran, menaikkan nilai tambah di dalam negeri di tengah gempuran resesi dan konflik geopolitik. Jika terpilih, ia menjanjikan akan melanjutkan hilirisasi, bukan hanya di sektor tambang, tapi juga pertanian, perikanan, dan digital.
Selain itu dia bersama Prabowo Subianto juga akan melanjutkan pemerataan pembangunan yang tak lagi “Jawa Sentris”.
Kemudian, yang tak kalah penting adalah menggenjot ekonomi kreatif dan UMKM. Pasalnya Gibran mengeklaim, Indonesia memiliki 64 juta pelaku usaha kecil dan menengah yang menyumbangkan 61% dari PDB.
“Jika dipenuhi maka insyallah terbuka 19 juta lapangan kerja,” ucapnya.
Gibran juga menyinggung bahwa pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang berkelanjutan akan membuka titik pertumbuhan ekonomi baru, membuka akses, dan konertivitas, serta lapangan kerja.
IKN juga klaimnya tak hanya menjadi bangunan pemerintah, tapi simbol pemerataan pembangunan di Indonesia dan simbol transformasi pembangunan di Indoensia.
Ia juga meyakini suatu saat nanti Indonesia akan menjadi raja energi hijau dunia dengan mengembangkan bio diesel, bio avtur dari sawit, dan bio etanol.
“Untuk digitalisasi akan siapkan anak-anak muda yang ahli AI, ahli bitcoin, ahli robotik, ahli perbankan syariah, dan anak muda ahli kripto.”
Peneliti INDEF Dhenny Yuartha Junifta mengatakan bahwa tujuan ekonomi Indonesia ke depan adalah lepas dari middle income trap. Sayangnya, dalam pernyataanya Gibran menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi saat ini dianggap resilien.
“Kondisi pertumbuhan saat ini tidak cukup untuk mengejar lepas dari jebakan. Minimal 7 persen agar kita bisa lepas dari jebakan tersebut,” jelas Dhenny.
Sementara itu, cawapres nomor urut 3 Mahfud MD memulai visi misinya dengan menghabiskan waktu sepanjang hampir 20 detik untuk mengucapkan selamat Hari Ibu, sebelum melanjutkannya dengan: “Dan sesudah ini kita lanjutkan pengabdian kita kepada Ibu Pertiwi.”
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu menyoroti maraknya korupsi di Indonesia sebagai penghalang terbesar untuk mencapai kemakmuran ekonomi.
“Ada yang bertanya kepada kami: ‘mungkin tidak Anda menargetkan mendapat pertumbuhan ekonomi 7% di dalam satu tahun karena di dalam sejarah reformasi tidak pernah sampai tumbuh sebanyak 7%’,” tutur Mahfud MD.
Dia menambahkan bahwa, menurut pihak yang bertanya itu, tingkat pertumbuhan ekonomi setinggi itu hanya tercapai pada periode 1981-1991 pada era Orde Baru.
“Lalu pertanyaan itu saya sampaikan kepada beberapa orang ahli. Lalu mereka mengatakan hanya karena kebodohan kita, kita ini tidak bisa menaikkan pertumbuhan ekonomi menjadi 7% karena ini kita kaya dengan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang hebat. “Masalahnya apa? Masalahnya banyak korupsi dan inefisiensi di sektor-sektor pertumbuhan ekonomi yaitu sektor konsumsi, belanja pemerintah, ekspor-impor dan investasi.”
Mahfud MD menyoroti hasil riset Transparansi Internasional yang mengatakan korupsi terjadi secara masif di eksekutif, yudikatif, dan legislatif “secara besar-besaran.”
“Akibatnya apa? Rakyat miskin,” ujarnya seraya mengutip beberapa individu yang dia temui di beberapa tempat di Indonesia yang mengeluhkan kondisi ini. “Kita menginjak bumi, ada korupsi di tanah dan pertambangan. Kita ke laut-ada korupsi di masalah kelautan. Kita punya udara-pesawat terbang kita ternyata di udara juga banyak korupsi.”
“Kuncinya adalah bagaimana kita memberantas korupsi,” tutur Mahfud MD, yang juga menyorot mereka yang merasa diperas ketika ingin melakukan investasi atau melakukan usaha di Indonesia.
“Kalau kami bayar-padahal diperas. Lalu ketahuan, kami ditangkap. Katanya kami menyuap. Itulah Indonesia ini pada saat ini,” tambahnya, kemudian menutup visi misinya dengan menegaskan pentingnya pemerataan ekonomi di Indonesia. Dalam pemaparan visi misinya, Muhaimin Iskandar yang akrab disapa Cak Imin – menjabarkan sejumlah masalah ekonomi yang harus diberantas. Ia menggunakan kata “selepet” untuk menggambarkan upaya pemberantasan tersebut.
Pemerataan ekonomi dengan menaikkan pajak bagi orang kaya, sekaligus menurunkan pajak untuk warga menengah ke bawah.
Cak Imin juga berjanji akan memberantas mafia dalam perdagangan Indonesia.
Lebih jauh, Cak Imin mengeklaim bakal mengurangi angka pengangguran yang saat ini mencapai 8 juta jiwa. Namun, 80 juta lainnya bekerja di sektor informal yang pendapatannya tidak pasti. Ia juga berjanji akan melanjutkan, bahkan menambah program bansos.
Cak Imin juga menjanjikan 5 persen APBN, sekitar Rp150 triliun, untuk kaum muda, salah satunya melalui program Kredit Usaha Anak Muda.
Ia juga berjanji akan memberikan Rp5 miliar per desa tiap tahun. Adu argumen soal ekonomi kerakyatan di sesi pertama debat cawapres, tema yang dibahas mengenai ekonomi kerakyatan.
Pertanyaan dari panelis yang muncul adalah bagaimana kebijakan pasangan calon untuk mengatasi digitalisasi yang berpotensi merugikan usaha dan mitra konsumen melalui penyalahgunaan data digital?
Cawapres nomor urut 3, Mahfud MD, mengatakan kebijakan terkait dengan data digital sudah dibuat dalam Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Namun begitu, persoalan data digital yang masif terjadi saat ini dan menjerat masyarakat adalah pinjaman online alias pinjol.
“Kasus pinjol sangat problematik karena dia dibuat secara hukum perdata, lewat gawai. Rakyat yang tidak tahu langsung mengiyakan syarat-syarat pinjaman online tanpa mengetahui dampak negatifnya,” ucap Mahfud MD.
Gara-gara ketidaktahun masyarakat, banyak jadi korban bahkan sampai bunuh diri.
Mahfud mengambil contoh kasus seorang guru di Semarang, Jawa Tengah, yang meminjam uang dari pinjol sebesar Rp500.000 tapi utang yang harus dibayar menjadi Rp240 juta lantaran bunga yang berkali lipat.
Sebagai Menkopolhukam, dia mengaku pernah menyampaikan ke Polri soal kasus-kasus pinjol. Tapi Polri klaimnya, enggan menangani persoalan ini lantaran ranahnya hukum perdata.
Begitu pula Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menyebut kasus pinjol bukan kewenangan mereka sebab pinjol-pinjol tersebut ilegal.
Cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar, menyebut perkembangan teknologi, digital, dan kemampuan UMKM masih terjadi gap atau kesenjangan. Untuk itu harus ditindaklanjuti, selain memberesi persoalan pinjol yang sudah merajalela.
Menurut Cak Imin, kemampuan untuk memasuki dunia digital membutuhkan bantuan pemerintah terutama terkait literasi digital untuk UMKM bagi keberlangsungan usaha kecil menghadapi persaingan.
“Di sisi lain, membutuhkan kapasitas teknologi supaya bisa membenahi kecepatan internet yang masih rendah,” imbuhnya.
Sedangkan cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, mengatakan selain masalah pinjol, permasalahan lain yang harus dicemati adalah pencurian data. Karena itulah dia berjanji akan menguatkan keamanan siber (cyber security).
Selain itu yang perlu ditekankan, katanya, bagaimana para pelaku usaha e-commerce bisa mengikuti regulasi yang ada. Sehingga tidak ada lagi yang disebutnya barang-barang lintas negara membunuh UMKM.
“Kita harus melindungi UMKM, ke depan yang kita siapkan harus ada penguatan sumber daya manusia. Manusianya, digitalnya, karena itu kita ingin anak muda ikut andil dalam hilirisasi digital yang kita canangkan sebentar lagi,” tutur Gibran.
Adu argumen soal prioritas anggaran dan IKN. Dalam sesi debat kedua, para cawapres dihadapkan pada pertanyaan mengenai prioritas anggaran pemerintah lebih untuk pembangunan infrastruktur fisik atau sumber daya manusia (SDM).
Gibran mengatakan bahwa pembangunan infrastruktur fisik dan SDM harus dilakukan secara paralel.
Ia kemudian mengatakan bahwa tidak semua program pembangunan harus dibiayai dari APBN. Ia lantas menarik contoh proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
“Banyak yang gagal paham. Tidak 100 persen pembangunan IKN menggunakan APBN. Yang digunakan hanya 20 persen, sisanya investasi dari swasta dan investasi dari luar negeri,” katanya.
Menurut Gibran, pekerjaan rumah pemerintah saat ini adalah menambah penerimaan negara.
Untuk itu, mereka akan membentuk badan penerimaan negara yang dikomandoi oleh presiden sehingga koordinasi antar-kementerian lebih luwes.Gibran juga menyebut akan menaikkan rasio pajak sehingga penerimaan negara bisa digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.
Mahfud kemudian menanggapi jawaban Gibran mengenai anggaran IKN.
“Sampai sekarang belum ada satu pun investor yang masuk ke sana. Kalau ada sebutkan, dua atau satu, investor mana yang sudah masuk ke sana?” tanya Mahfud.
“Yang saya dengar justru ada ratusan ribu hektar tanah yang sudah kuasai oleh pengusaha-pengusaha tertentu.”
Mahfud mengaku setuju pemerintah harus menarik investor ke IKN, agar pendanannya sesuai dengan rencana semula, bukan hanya dari APBN.
Sementara itu, Cak Imin menanggapi dengan menyatakan bahwa pemerintah harus mengetahui prioritas. Menurutnya, anggaran pembangunan IKN seharusnya bisa digunakan untuk membangun berbagai sektor lain di Kalimantan.Gibran langsung merespons dengan mengatakan bahwa IKN bukan hanya untuk membangun bangunan pemerintah, tapi juga simbol pemerataan pembangunan di Indonesia.
Menanggapi pertanyaan Mahfud, Gibran mengeklaim bahwa sudah banyak investasi masuk IKN dan masih akan terus bertambah.
Direktur Riset CORE Indonesia, Akhmad Akbar Susamto, menganggap jawaban masing-masing cawapres soal prioritas pembangunan infrastruktur atau SDM secara normatif sudah benar.
Namun, ia meragukan klaim Gibran soal investor IKN tidak meyakinkan.
“Penjelasan Gibran tentang keberadaan investor IKN tidak meyakinkan. Pak Jokowi sendiri baru-baru ini mengakui belum ada investor asing masuk,” kata Akhmad kepada awak media.
Dalam kunjungan ke IKN pada Rabu lalu, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa investor dalam negeri sudah berbondong-bondong ke proyek ibu kota baru itu, tapi bukan secara langsung investor asing.
“Selama yang di domestik masih berbondong-bondong, saya kira-tapi juga sebetulnya yang investor dalam negeri pun sebetulnya itu pun sudah partner-an sama yang asing,” ujar Jokowi.
“Satu-dua saya tahu sudah partner-an dengan asing. Sebetulnya juga sama saja.”
Sementara itu, pengamat tata kota Yayat Supriatna mengamini bahwa dana awal pembangunan IKN memang harus dari APBN.
“Yang menjadi isu yang belum terjawab dari paslon 2 [Gibran] adalah angka 2 % dari APBN. Berapa besar komposisinya dan sampai kapan,” ucapnya.
Ide bangun 40 kota setara Jakarta dipertanyakan
Dhenny Yuartha Junifta, peneliti Center of Food, Energy, and Sustainable Development INDEF, mempertanyakan ide Muhaimin untuk membangun 40 kota setara Jakarta, dia mengatakan:
“Penambahan kota-kota baru sama halnya dengan membangun proyek-proyek mercusuar baru.”
“Anggaran kita sangat terbatas soal ini,” ujarnya kepada SomasiNews.com.
Menanggapi sindiran Gibran kepada Muhaimin atas pernyataannya yang dinilai kontradiktif sebab ingin membangun kota selevel Jakarta tetapi tidak mendukung IKN, Dhenny merasa Gibran “berhasil mengeksploitasi celah yang ditunjukkan oleh Pak Muhaimin.”
“Penjelasan Pak Muhaimin bisa juga dimaknai dengan membangun kota baru, bukan mengembangkan modernisasi kota baru,” ujar Dhenny.
“Di sisi lain, sindiran Pak Gibran sebenarnya juga punya celah lainnya, bahwa modernisasi kota tanpa peningkatan pusat bisnis maka akan berisiko pada kegagalan. IKN baru meninggalkan jantung kota sesungguhnya,” tukas Dhenny, yang mengumpamakan IKN seperti:
“membangun tanpa pusat bisnis yang berkembang”. Sementara pengamat tata kota dan infrastruktur Yayat Supriatna juga mempertanyakan ide Muhaimin tentang pembangunan 40 kota setara Jakarta yang diutarakan Muhaimin.
“Ini seperti mimpi… dalam lima tahun 40 kota setara Jakarta. Karena kapasitas fiskal setiap daerah sangat berbeda. Kota kota kita masih setengah mandiri dari sisi keuangan. Belanja daerah untuk infrastruktur fisik hanya sekitar 20 atau 30 persen dari APBD. Sisanya untuk kebutuhan internal pembiayaan operasional Pemerintah Daerah,” tutur Yayat kepada SomasiNews.com.
“Hampir sebagian besar kota-kota besar masih sangat tergantung dari bantuan pusat untuk sektor transportasi atau sektor strategis lainnya. Dan hampir setiap bantuan pusat daerah tidak punya dana pendamping anggaran dari pusat. Karena terganjal di DPRD yang anggotanya sebagian tidak paham tentang kebijakan dari program pusat,” imbuhnya.
Yayat menambahkan bahwa pada prakteknya: “banyak bantuan pusat yang tidak efektif”. Dia mencontohkan bantuan pembangunan pelabuhan laut yang tidak dibarengi dengan upaya pemerintah daerah membangun jalan atau menyiapkan sarana transportasi.
“Akibatnya banyak bantuan pusat yang mangkrak atau tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan,” ujar Yayat. Yayat juga menyoroti kepentingan daerah yang sering tidak selaras dengan kebijakan pemerintah pusat.
“Membangun 40 kota di Indonesia suka bentrok dengan kepentingan Kepala Daerah yang sering berganti-ganti kebijakan dan sering tidak bersinergi dgn kebijakan pusat. Ini yang seharusnya dijelaskan oleh para Cawapres,” tutur Yayat.
“Jakarta jangan dijadikan contoh indikator keberhasilan. Karena Jakarta tidak pas sebagai contoh keberhasilan. Banyak kota-kota lain dunia yang bisa contoh model sebagai cara untuk belajar membangun kota,” pungkasnya.
Adu strategi untuk dorong ekspor dan investasi Pada subtema keenam, pertanyaan panelis adalah bagaimana strategi pasangan calon capres-cawapres untuk memanfaatkan perjanjian-perjanjian perdagangan bebas yang telah diratifikasi Indonesia untuk mendorong ekspor dan investasi?
Cawapres nomor urut 3, Mahfud MD, mengatakan untuk mengoptimalkan perjanjian-perjanjian tersebut ia bersama Ganjar Pranowo akan melakukan tiga hal.
Pertama, memerintahkan para duta besar (dubes) untuk betul-betul memanfaatkan ‘diplomasi ekonomi’ dengan negara-negara lain seperti yang saat ini dilakukan oleh Presiden Jokowi.
Kedua, akan melakukan perdagangan untuk mengintegrasikan perdagangan nasional ke perdagangan global.
Dengan begitu, sambung Mahfud, memenuhi standar internasional dan bisa diterima di pasar luar negeri.
“Serta membuat regulasi agar upaya perdagangan tidak diblokir atau dicurangi pelaku ekonomi yang mempunyai kedekatan dengan pejabat publik,” jelasnya. Ketiga, akan mengutamakan penguatan ekonomi nasional agar ekonomi nasional bisa tumbuh ke dalam negeri. Sehingga nanti kualitas barang produksi Indonesia bisa diterima di luar negeri atau internasional.
Cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar, menyebut diplomasi para dubes yang berlaku sekarang sangat normatif.
Padahal yang penting dilakukan sekarang, katanya, “menyelepet duta besar sebagai pemasar yang tangguh.”
Dia juga menilai saat ini produk dalam negeri seperti dibiarkan tumbuh sendiri. Tidak ada gerakan terstruktur dari Menteri Perdagangan, Menteri Koperasi untuk meningkatkan barang berkualitas dan berstandar internasional.
Sementara itu cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, menjawab dengan singkat bahwa solusi yang akan dikerjakan adalah hilirisasi.
“Kita jangan mau lagi mengirim barang mentah dan harus mampu meningkatkan nilai tambah di dalam negeri,” ucapnya.
Gibran mencontohkan hilirisasi nikel.
Ia mengeklaim, sebelum hilirisasi penerimaan yang diperoleh negara hanya US$3 miliar di tahun 2017 menjadi US$33 miliar pada 2022.
“Ini baru bicara nikel, belum tembaga, bauksit, timah.”
Adu solusi atasi isu perkotaan
Salah satu pertanyaan di bidang perkotaan yang ditujukan kepada cawapres Muhaimin Iskandar mengenai 56% penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan dan diperkirakan akan mencapai 70% pada 2045.
“Permasalahan akan semakin kompleks seperti transportasi publik, sampah, dan kawasan kumuh. Pertanyaannya: Bagaimana strategi paslon menyiapkan instrumen fiskal khusus untuk mengatasi masalah tersebut?” demikian pertanyaan panelis.
Dalam jawabannya, Muhaimin menyoroti pentingnya untuk menghindari terjadinya penumpukan penduduk di dalam satu perkotaan sehingga “pembangunan perkotaan harus dibikin merata di berbagai tempat.”
“Kami memiliki satu tekad bahwa di dalam pemerintahan yang akan datang minimal harus dibangun 40 kota baru yang selevel dengan Jakarta,” tegas Muhaimin.
Menjawab pertanyaan mengenai instrumen fiskal untuk mengatasi masalah tersebut, Muhaimin mengatakan: “Kita harus pandai-pandai mengambil prioritas.”
“Sekali lagi, kita bukan setuju atau tidak setuju IKN. Yang paling penting adalah prioritas kepemerataan dan keadilan agar terbangun kota-kota sehingga sarana air bersihnya terwujud. “Para hadirin gemuruh ketika Cawapres Gibran Rakabuming menggunakan kesempatannya untuk menanggapi jawaban Muhaimin Iskandar dengan menyindir.
“Gus Muhaimin ini agak aneh, ya. Ingin bangun kota selevel Jakarta tapi nggak setuju sama IKN. Tapi ya monggo lah ya,” ujar Gibran, yang kemudian menyoroti transportasi umum yang aman dan nyaman bagi kaum disabilitas, lansia, dan anak-anak dalam programnya.
Cawapres Mahfud MD juga menyampaikan keheranannya atas “tekad” Muhaimin Iskandar tentang membangun kota selevel Jakarta.
“Cak Imin, saya agak kaget juga. Mau membangun 40 kota selevel Jakarta. Ya, apa itu bisa dilaksanakan lima tahun Bapak menjadi presiden dan wakil presiden,” ujar Mahfud.“Ini IKN aja sudah puluhan tahun baru dilaksanakan itu pun yang investasi baru dalam bentuk janji, belum ada yang melaksanakan,” imbuhnya, kemudian menanyakan bagaimana pembiayaan dari program tersebut.
Muhaimin kemudian mengklarifikasi bahwa yang dimaksud dengan “seperti Jakarta” adalah “memiliki standar upaya sampai menuju Jakarta.”
“Kota-kota yang potensial cukup disentuh dengan beberapa anggaran yang menumbuhkembangkan. Misalnya, Pontianak. Satu tahun cuma Rp1 triliun. Bagaimana kalau satu tahun kita bisa investasikan Rp3 triliun-Rp5 triliun. APBN kita cukup,” tutur Muhaimin, dengan menambahkan bahwa cara pembiayaan lain seperti swasta ataupun CSR juga bisa dilibatkan.
“Yang lebih penting dari itu adalah: infrastruktur yang dibutuhkan dipersiapkan dari potensi yang sudah ada sehingga dalam waktu singkat 40 kota itu benar-benar sudah menggunakan potensi yang sudah dimiliki, yang ada.”
Apa saja yang luput dalam debat cawapres?
Dhenny Yuartha Junifta, peneliti Center of Food, Energy, and Sustainable Development INDEF, mencatat ada beberapa hal yang sebenarnya luput dari debat cawapres kali ini.
“Pertama, pembahasan soal penerimaan negara. Secara historis kita tidak bisa lepas dari jebakan sumber penerimaan jangka pendek dari sumber daya alam,” tutur Dhenny kepada BBC Indonesia.
“Tax ratio kita meningkat apalagi yang peningkatannya signifikan itu terjadi ketika momentum ledakan komoditas yang terjadi secara historis menunjukkan hal tersebut.”
Menurut Dhenny, cawapres-cawapres seharusnya bisa membahas secara lebih lanjut mengenai langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk meningkatkan penerimaan baru terutama terfokus kepada pembentukan lembaganya.
“Janji peningkatan tax ratio sepertinya tidak dibahas lebih pada bagaimana cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan sumber penerimaan baru dan dari mana sumbernya,” imbuhnya.
Kedua, menurut Dhenny, hal yang luput dalam pembahasan di debat cawapres ini adalah mengenai bagaimana mengefisienkan belanja non prioritas.
“Tadi pertanyaan yang menarik karena kita hanya punya sepertiga dari APBN yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan. Ini luput dijelaskan oleh cawapres,” ujar Dhenny.
“Dan yang terakhir adalah tata kelola subsidi. Ini yang luput dari pembahasan,” tandasnya.Pengamat ekonomi kerakyatan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Hempri Suyatna, menilai jawaban dari para cawapres mengenai persoalan ekonomi kerakyatan dan digitalisasi “tidak terlalu tajam” dan “belum fokus pada inti persoalan yang dihadapi masyarakat”.
Menurut dia, masalah yang dihadapi pelaku usaha UMKM adalah gempuran produk-produk ilegal yang masuk ke Indonesia lewat toko digital di e-commerce dan social commerce. Bukan soal pinjaman online (pinjol).
Pantauannya masih ada toko digital di sejumlah lokapasar masih ditemukan barang-barang impor nan murah.
“Jadi belum menjawab persoalan… karena masalahnya bagaimana menguatkan e-commerce dalam konteks lokal serta literasi digital bagi pelaku UMKM dan bagaimana digitalisasi tidak hanya menguntungkan pemilik modal, tapi semua pelaku UMKM,” jelas Hempri.Kalau menelisik jawaban dari para cawapres, Hempri juga menilai kurang elaborasi dan kurang membeberkan langkah konkret yang akan dilakukan.
Pengamatannya digitalisasi yang sudah merambah hingga ke desa dan kampung-kampung belum membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
Inilah semestinya, kata Hempri, yang harusnya disampaikan para cawapres.
“Internet masuk desa, tapi masyarakat tidak produktif.”
Adapun soal penyalahgunaan data digital yang dikhawatirkan pelaku usaha UMKM terkait dengan “jumlah omset yang berimplikasi pada pajak”.
Dalam banyak kasus, para pelaku UMKM tidak mau memberikan data mereka kepada pemerintah lantaran merasa tidak aman.
Sehingga dampaknya pemerintah sampai saat ini tidak punya informasi valid soal seberapa besar pelaku usaha UMKM yang ‘naik kelas dan belum naik kelas’.
Sementara Izzudin Al Farras Adha, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) dengan minat penelitian mencakup pengembangan ekonomi regional, ekonomi digital, dan Usaha Kecil Menengah (UKM), menyoroti isu keuangan sebagai satu isu krusial yang terlewat pada debat malam ini.
“Dengan target pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi dari ketiga paslon, 5,5%-7%, membutuhkan salah satunya laju kredit perbankan yang tinggi. Namun, laju kredit perbankan yang tidak sampai 10 persen menyulitkan dorongan pembangunan yang lebih massif kedepannya sehingga memberatkan capaian target pertumbuhan ekonomi tiap capres,” ujarnya.
“Selain itu, masyarakat kelas bawah yang memiliki tabungan memiliki tren kecenderungan “makan tabungan” yang ditandai dari semakin kecilnya angka rata-rata saldo per rekening, dari 3 juta (2019) ke 1,9 juta (Sep 2023),” pungkasnya.
Laporan: Supriyadi