Suara Masyarakat Anti Diskriminasi
SOMASINEWS.COM LAMPUNG BARAT, Motifasi Peratin Pekon Giham, Kecamatan Sekincau, yang berpura-pura menjadi seorang wartawan diduga hanya sebagai dalih agar kinerjanya sebagai seorang pejabat publik tidak mendapat sorotan awak media. Terlebih sejauh pengamatan yang dilakukan awak media ini, diketahui jika pengelolaan Dana Desa di Pekon setempat sangat rawan berpotensi dugaan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Seperti diketahui, sepanjang tahun 2020 hingga 2021 kucuran Dana Desa yang diterima Pemerintah Pekon Giham senantiasa dikelola dengan penuh misteri dan selubung muslihat. Kendati demikian, sang oknum Peratin (kepala desa – red) selalu saja lolos dari jeratan hukum dan pantauan awak media lantaran dirinya kerap mengaku-ngaku sebagai seorang wartawan.
Padahal, jika aparat penegak hukum maupun pihak Inspektorat Lampung Barat sedikit saja serius dalam mengusut dugaan KKN Dana Desa Pekon Giham, maka tidak akan sulit menemukan celah indikasi yang sudah sangat merugikan masyarakat dan keuangan negara.
Contohnya saja pada bidang pembinaan dan pemberdayaan masyarakat, belum lagi ditambah pada kucuran anggaran untuk Badan Usaha Milik Pekon yang menyedot anggaran sangat besar namun entah apa output yang dihasilkan. Belum lagi pada tahun 2022 ini, program ketahanan pangan dari Dana Desa Pekon Giham juga berpotensi KKN.
Ketua Bidang Profesi dan Etik, Serikat Jurnalis Independen (SJ-I) Lampung, Chaidir, menyebut jika seorang Peratin (kepala desa-red) yang merangkap jabatan sebagai menjadi wartawan sedikit tidak pantas secara etika, karena akan sangat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai seorang pejabat publik.
“Saya rasa titel wartawannya itu hanya digunakan untuk berkamuflase agar terhindar dari sorotan awak media, sehingga dia bisa berbuat leluasa karena merasa dalam habitat yang sama,” ujarnya ketika dikonfirmasi awak media.
Chaidir juga menjelaskan, memang tidak ada aturan baku yang melarang siapapun untuk menjadi seorang wartawan. Namun secara kaidah normatif dan etika profesi, hal tersebut tidak bisa dibenarkan. “Siapa yang bisa menjamin seorang Peratin yang merangkap sebagai wartawan akan bersikap independen ketika melakukan pengawasan, kritik dan koreksi sebagaimana bunyi Pasal 6 poin Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers,” urainya.
Bagi Chaidir, ketika seorang pejabat publik seperti Peratin menjadi seorang wartawan maka akan sangat bertentangan dengan Kode Etik Jurnalistik Indonesia dimana wartawan Indonesia harus bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat serta wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi.
“Sekali lagi saya ingatkan, wartawan adalah profesi yang sangat mulia sehingga jangan disalahgunakan dan saya rasa oknum peratin itu bukan seorang wartawan tapi pura-pura jadi wartawan. Kalau tidak percaya coba pahami Undang-Undang pokok Pers,” tutupnya.
Laporan. Hela